MANAJEMEN
RESIKO BENCANA GEMPA BUMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta secara geografis terletak pada 7°33’-8°15’ LS dan
110°5’-110°50’ BT. Provinsi ini seluas 3.185,81 km2 atau 0,17% dari luas
wilayah Indonesia. Secara geologis Yogyakarta terletak pada cekungan yang sudah
terisi oleh material vulkanik gunung api. Disebelah utara dibatasi oleh Gunung
Merapi yang kadang kala menunjukkan aktivitas sebagai akibat dari munculnya
magma melalui lubang kepundan, sedangkan dibagian Selatan dibatasi dengan
aktivitas zona subduksi yang hingga saat ini juga menunjukkan aktivitasnya
ditandai dengan gempa-gempa mikro di sekitar zona tersebut. Proses mitigasi
adalah beberapa tindakan yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu
bencana yang mana hal itu terkait dengan tindakan secara strukttural dan non
struktural serta dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi
dengan menggunakan sistem pengembangan yang berkelanjutan/sustainable development.
Tujuan dari mitigasi bencana gempabumi ini adalah untuk mengembangkan strategi
mitigasi yang dapat mengurangi hilangnya kehidupan manusia dan alam sekitarnya
serta harta benda, penderitaan manusia, kerusakan ekonomi dan biaya yang
diperlukan untuk menangani korban bencana yang dihasilkan oleh bahaya
gempabumi. Resiko yang ditimbulkan oleh bencanagempabumi terhadap kehidupan
manusia termasuk, jumlah korban meninggal, cedera/menderita dan kerusakan
ekonomi dapat dikurangi dengan (1) perencanaan wilayah yang baik mencakup
desain konstruktsi sipil, progam pelatihan mitigasi sebelum gempa itu sendiri
terjadi. (2) penyediaan media informasi dan komunikasi yang kritis dan up to
date untuk
meningkatkan
response terhadap bencana ketika terjadi.
B. Permasalahan.
Penanganan
korban bencana gempabumi Yogyakarta 26 Mei belum dilakukan secara terintegrasi
dan belum melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga sistem
mitigasi terhadap bencana gempabumi belum bisa terlaksana.
C. Tujuan.
Merumuskan
ide konstrukstif tentang sistem mitigasi terhadap bencana gempabumi
yang
baik dan dapat diterapkan pada suatu kasus bencana tertentu pada wilayah
tertentu dan
melibatkan
berbagai pihak secara terorganisir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Proses
Membebaskan sejumlah energi yang telah terkumpul sekian lama secara tiba-tiba, pelepasan
tersebut menimbulkan getaran gempa dengan nilai yang beragam (Kertapati,2004)[1]
.
2.
Akibat
gempa tersebut, 126.932 keluarga kehilangan rumah, 183.399 keluarga rumahnya
rusak berat, dan 259.816 keluarga rumahnya rusak ringan (data tanggal 12 Juni
2005, jam 18.00, Media Center).
3.
Hiposenter
gempabumi berdasarkan hasil analisis after shock data[4]
terletak pada
sebelah barat dari Patahan Opak yakni pada koordinat 8.24o
LS dan 110.43o
BT (koordinat USGS).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Model
pola aliran penanggulangan bencana menawarkan suatu tindakan untuk mengurangi
resiko bencana di dalam rentang yang luas dari fungsi dan operasi didalam suatu
kota secara terus menerus.
Gambar
4. Model Pola Aliran: Koordinasi Dari
Pusat
+ Inmelementasi Tingkat Lokal + Partisipasi
Rancangan
manajemen resiko bencana adalah menyiapkan (1) rancangan kerangka kerja
institusi dan legal untuk menyampaikan sistem Manajemen Resiko Bencana (2)
penggabungan program pelatihan Manajamen Resiko Bencana ke dalam proses
internal pemerintah dan aktivitas bisnis secara terus menerus di dalam wilayah
dengan memperkenalkan Rencana Manajemen Risiko Bencana sebagai praktek
perencanaan yang kritis yang diambil oleh wilayah tersebut sebagai aturan
dasar.
Rencana
Mitigasi Bencana Gempabumi dapat meningkatkan cara pandang yang luas dan
terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencana yang meliputi beberapa
elemen sebagai berikut:
1. Identifikasi bencana dan kerentanannya serta
evaluasi resiko bencana tersebut.
2. Strategi pengurangan bencana yang bersumber
dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan.
3. Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan
regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi
antara berbagai organisasi dan insitusi yang berbeda.
4.
Mekanisme koordinasi institusi yang kuat
5.
Sistem yang solid untuk mengendalikan
pemenuhan dan penguatan code dan standar untuk konstruksi bangunan yang
aman
6.
Perencanaan tataguna lahan dan
permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko.
7.
Penggunaan peralatan komunikasi untuk
pengurangan resiko akibat bencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan bencana, pendidikan, pelatuhan dan penelitian.
8.
Manajemen kesiapsiagaan dan kedaruratan
berdasarkan pada pemahaman resiko.
9.
Kerjasama dan koordinasi antar kota
dalam satu program mega city.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus
gempabumi Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006 dapat digunakan sebagai studi
kasus untuk melakukan studi mitigasi bencana akibat gempabumi. Peristiwa
tersebut mengakibatkan beberapa sarana pendidikan, fasilitas sosial,
perkampungan dan infrastruktur lain (jalan, masjid, jembatan, jaringan listrik
dan air ) diperkirakan rusak oleh gempabumi. Daerah yang mengalami dampak yang
paling parah adalah kabupaten Bantul yang terletak disebelah selatan dari
Kotamadya Yogyakarta dan sepanjang jalur patahan hingga ke kota Klaten, Jawa
Tengah. Dataran ini merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi, dimana orang-orangnya tinggal pada desa-desa yang dibatasi oleh
persawahan.
Gambar
6. Epicenter Gempabumi Yogyakarta
27 Mei 2006
Hal
yang menarik dari kejadian gempabumi, bahwa hiposenter gempabumi berdasarkan
hasil analisis after shock data[4] terletak pada sebelah barat dari
Patahan Opak yakni pada koordinat 8.24o LS dan 110.43o
BT (koordinat USGS)
dan pusat kerusakan diperkirakan tersebar sepanjang Patahan Opak. Hal ini
berarti bahwa gempabumi merambat dari titik hiposenterna melalui zona lunak
yang
merupakan
bagian dari Formasi Endapan Merapi Muda dengan komposisi sebagian besar
tersusun oleh alluvial, tuff, breksi agglomerate dan aliran lava.
Gambar
7. DEM (Digital Elevation Model) Yogya
Gambar
8. Intensitas Gempabumi Berdasarkan Data
Rekaman
USGS Pada 27 Mei 2006
Masalah
terbesar yang dapat diambil sebagai pelajaran dari persitiwa Gempa Yogya adalah
bahwa Wilayah DIY-Jateng termasuk salah satu seismic gap, sehingga
jarang terjadi gempa besar; masyarakat tidak banyak memiliki pengetahuan
tentang gempa; masyarakat belum menerapkan sistem
bangunan
tahan gempa; diperlukan pendidikan kebencanaan termasuk dalam
penanggulangannya. Beberapa data yang mencerminkan pengaruh yang besar dari
gempabumi terhadap masyarakat dan fasilitas publik lainya diantaranya adalah[5]
mencakup jumlah
korban meninggal atau luka, jumlah
rumah
rusak dan juga keterlibatan instansi pemerintah maupun swasta baik dalam negeri
maupun
luar negeri, sangat membantu untuk menentukan tindakan mitigasi dan preventif
kedepan.
Tabel
1. Data Korban Meninggal, Luka Berat –
Ringan
Di Propinsi DIY,
dan
Sebagian Jawa Tengah
Jumlah
korban di DIY dan Jateng adalah 5.743 orang meninggal dan 38.423 orang lukaluka
(data 12 Juni 2005, jam 18.00 WIB). Korban luka-luka dirawat di beberapa rumah
sakit yang ada di DIY dan Jateng. Akibat
gempa tersebut, 126.932 keluarga kehilangan rumah, 183.399 keluarga rumahnya
rusak berat, dan 259.816 keluarga rumahnya rusak ringan (data tanggal 12 Juni
2005, jam 18.00, MediaCenter). Berdasarkan data tersebut, jumlah pengungsi di
DIY dan Jateng diperkirakan
mencapai
330.331 keluarga. Beberapa institusi yang terlibat dalam penanganan korban
bencana yang tinggal di sekitar bantul dan daerah sekitarnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Jumlah
rumah rusak atau runtuh pada perkampungan di Provinsi daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai akibat dari gempabumi tektonik yang dapat diperoleh dari
Pusat Data Gempabumi Yogyakarta pertangal 12 Juni 2006 adalah 96.360 runtuh,
117.182 rusak berat, dan 156.568 rusak ringan (Gambar 9). Kerusakan terbesar
terdapat di kabupaten Bantul, yang diasumsikan mencapai 45 % dari jumlah total
kerusakan rumah.
Gambar
9. Peta Distribusi Kerusakan Rumah
di
Propinsi DIY dan Jawa Tengah
Table
3. Rekapitulasi Kerusakan Bangunan Rumah
(Rumah
Penduduk) di Propinsi DIY
dan
Jawa Tengah
BAB V
KESIMPULAN
1. Pendidikan
dan pelatihan kebencanaan perlu diimplementasikan dan secara periodik dilakukan
penyegaran.
2. Perlu
koordinasi yang lebih akurat diantara masing-masing stake holder dalam
penanganan korban bencana baik dalamsatu wilayah maupun antar wilayah .
3. Mitigasi
gempabumi mencakup konsep Model Utama dan Rencana Awal Manajemen Mititgasi
Bencana yang harus diimplementasikan untuk mengurangi resiko bencana gempa bumi.
4. Sistem
pemantau dini hendaknya diimplementasikan sebagai bagian utama dari sistem
tanggap darurat terhadap masyarakat yang tinggal pada lokasi bencana yang
didukung oleh SDM yang terampil dalam membantu mengevakuasi korban serta
penentuan rute evakuasi yang aman.
5. Pemahaman
akan sumber bahaya dan potensinya kepada masyarakat hendaknya diintensifkan
dengan diselenggarakannya diklat, penyebaran brosur, pamflet, sehingga dapat
meningkatkan kesadaran publik akan bahaya gempabumi.
6. Hendaknya
perlu dilakukan penataan ulang terhadap penggunaan lahan di daerah bencana
secara kontinyu dan hendaknya penggunaan citra satelit atau photo udara dapat
diimplementasikan untuk mengestimasi aktivitas patahan didaerah becana.
DAFTAR PUSTAKA
Hainafi,
Akhmad, Muktaf. Manajemen Resiko Bencana Gempa Bumi (Studi Kasus Gempabumi Yogyakarta 27
Mei 2006). Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi
Keselamatan. Jakarta. 2008.