Sunday 1 April 2018

DIALEKTIKA PENERAPAN HUKUM KONSTRUKSI


DIALEKTIKA PENERAPAN HUKUM KONSTRUKSI

“Dialektika Penerapan Hukum Konstruksi”. Dalam materi paparannya diambil 6 poin sub tema, yaitu :
1.     Distorsi Pengadaan Barang dan Jasa
2.     Inkonsistensi Pemeriksaan Auditor
3.     Kriminalisasi Penerapan Hukum Konstruksi
4.     Penyelesaian Permasalahan Hukum Konstruksi
5.     Peranan dan Kedudukan Lembaga Asosiasi Konstruksi
6.     Korupsi dan Unsur Kerugian Negara

      Distorsi adalah pemutarbalikan fakta, aturan dan sebagainya. Tekait dengan pengadaan barang dan jasa, Arif Rahman mengambil permasalahan mengenai penganggaran proyek yang memaksa harus diserap dalam tahun berjalan seringkali berdampak terhadap kualitas hasil sebuah pekerjaan. Orientasi penganggaran seringkali bermindset pada proyek bukan pada hasil. Dengan kondisi demikian, maka proyek terkesan tergesa-gesa. Selanjutnya sulitnya menghadang kontraktor penawar harga tidak wajar yang berdampak pada rendahnya mutu hasil konstruksi. Peraturan menghendaki pemenang tender dengan harga terendah, bukan yang kompeten dan efisien. Pemimpin Proyek tidak kuasa menangani masalah ini karena dikhawatirkan akan dipidana. Dengan demikian mutu dan kualitas kembali dipertanyakan. Namun di posisi ini, posisi Pemimpin Proyek (Pimpro) menjadi dilematis. Karena ketika terjadi permasalahan mengenai mutu yang berakar masalah dari tingkat kompeten dan efisien , maka Pimpro rentan dipersalahkan. Selanjutnya dampak kesalahan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam menimbulkan pemahaman mark-up yang merugikan penyedia jasa.

   Inkonsistensi pemeriksaan auditor menjadi permasalahan yang bisa dibilang sering terjadi. Dalam hal terjadi perbedaan antara volume realisasi dengan volume BoQ dalam tinjauan kontrak Lumpsum, pihak kontraktor pelaksana selalu berada pada posisi dirugikan dimana volume lebih harus dikembalikan sedangkan yang kurang dianggap sebagai resiko kontraktor. Dimana letak keseimbangan dan keadilan jika aturan main yang disepakati dan dipahami tidak ditinjau oleh pihak Auditor. Terkait dengan hirarki  perundang-undangan di Indonesia, Auditor dianggap seringkali hanya merujuk pada perpres saja dalam proses pemeriksaan pengadan barang dan jasa, tanpa mempertimbangkan aturan dalam perundangan lainnya. Tidak jelasnya domain kewenangan antara Inspektorat, BPKP dan BPK. Dalam beberapa kasus, seringkali sebuah proyek sudah selesai diperiksa oleh BPKP dan BPK, lalu berjalan waktu Inspektorat melakukan pemeriksaan dan membatalkan hasil temuan BPK dan BPKP sebelumnya.

  Kriminalisasi penerapan hukum konstruksi diambil permasalahan kenapa kontrak kerja konstruksi lebih dominan penerapan Hukum pidana daripada hukum perdata, padahal sebuah perikatan itu merupakan rana privat/perdata. Akibatnya semua yang berbau kontraktor cenderung langsung dipidanakan. Bagaimana kedudukan kontrak kerja konstruksi dalam pandangan hukum yang sebenarnya. Seringkali terjadi ketika keugian Negara akibat perbedaan cara berhitung pada waktu pelaksanaan dengan perhitungan Auditor pada saat pemeriksaan dimana kontraktor harus mengembalikan selisih tersebut  dan setelah dikembalikan ke Negara, para Lembaga Penegak Hukum tetap saja memproses secara pidana ? dan yang paling menyakitkan kerugian Negara kurang dari 10 juta bahkan kurang dari 1 juta rupiah telah memenjarakan banyak insan-insan konstruksi. bergitu beresiko ?. Selanjutnyamasih ditemukannya LPH yang masuk ke proyek-proyek. padahal dalam masa konstruksi, padahal ini bertentangan dengan UU Jasa konstruksi No. 2 tahun 2016.

     Hubungan hukum antara penyedia jasa dengan pengguna jasa diatur dalam hukum perdata dan semua sengketa diselesaikan diperadilan umum atau lembaga arbitrase. Permasalahan yang timbul adalah besarnya kewenangan LPH dalam menetapkan suatu permasalahan konstruksi dalam rana pidana tanpa adanya penyaringan Lembaga yang berkompeten di bidang konstruksi.
Terkait dengan kriminalisasi pihak-pihak penyelenggara konstruksi telah menjadi isu nasional.  Dimana dan bagaimana peranan asosiasi.

     Dari poin korupsi dan kerugian Negara, dibahas mengenai kuatnya interverensi politik dalam proses pengadaan barang dan jasa. Batasan unsur kerugian Negara dengan ancaman korupsi yang bakal dihadapi. Jika semua unsur kerugian dianggap korupsi, maka jasa konstruksi bukan lagi bidang jasa bergengsi melainkan musibah bagi insan konstruksi.

0 comments:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *