Monday 2 April 2018

MAKALAH MANAJEMEN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI


MANAJEMEN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara geografis terletak pada 7°33’-8°15’ LS dan 110°5’-110°50’ BT. Provinsi ini seluas 3.185,81 km2 atau 0,17% dari luas wilayah Indonesia. Secara geologis Yogyakarta terletak pada cekungan yang sudah terisi oleh material vulkanik gunung api. Disebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi yang kadang kala menunjukkan aktivitas sebagai akibat dari munculnya magma melalui lubang kepundan, sedangkan dibagian Selatan dibatasi dengan aktivitas zona subduksi yang hingga saat ini juga menunjukkan aktivitasnya ditandai dengan gempa-gempa mikro di sekitar zona tersebut. Proses mitigasi adalah beberapa tindakan yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu bencana yang mana hal itu terkait dengan tindakan secara strukttural dan non struktural serta dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi dengan menggunakan sistem pengembangan yang berkelanjutan/sustainable development. Tujuan dari mitigasi bencana gempabumi ini adalah untuk mengembangkan strategi mitigasi yang dapat mengurangi hilangnya kehidupan manusia dan alam sekitarnya serta harta benda, penderitaan manusia, kerusakan ekonomi dan biaya yang diperlukan untuk menangani korban bencana yang dihasilkan oleh bahaya gempabumi. Resiko yang ditimbulkan oleh bencanagempabumi terhadap kehidupan manusia termasuk, jumlah korban meninggal, cedera/menderita dan kerusakan ekonomi dapat dikurangi dengan (1) perencanaan wilayah yang baik mencakup desain konstruktsi sipil, progam pelatihan mitigasi sebelum gempa itu sendiri terjadi. (2) penyediaan media informasi dan komunikasi yang kritis dan up to date untuk
meningkatkan response terhadap bencana ketika terjadi.

B.     Permasalahan.

Penanganan korban bencana gempabumi Yogyakarta 26 Mei belum dilakukan secara terintegrasi dan belum melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga sistem mitigasi terhadap bencana gempabumi belum bisa terlaksana.

C.    Tujuan.

Merumuskan ide konstrukstif tentang sistem mitigasi terhadap bencana gempabumi
yang baik dan dapat diterapkan pada suatu kasus bencana tertentu pada wilayah tertentu dan
melibatkan berbagai pihak secara terorganisir.


  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

     1.     Proses Membebaskan sejumlah energi yang telah terkumpul sekian lama secara tiba-tiba, pelepasan tersebut menimbulkan getaran gempa dengan nilai yang beragam (Kertapati,2004)[1] .
        2.      Akibat gempa tersebut, 126.932 keluarga kehilangan rumah, 183.399 keluarga rumahnya rusak berat, dan 259.816 keluarga rumahnya rusak ringan (data tanggal 12 Juni 2005, jam 18.00, Media Center).
        3.      Hiposenter gempabumi berdasarkan hasil analisis after shock data[4] terletak pada sebelah barat dari Patahan Opak yakni pada koordinat 8.24o LS dan 110.43o BT (koordinat USGS).


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


Model pola aliran penanggulangan bencana menawarkan suatu tindakan untuk mengurangi resiko bencana di dalam rentang yang luas dari fungsi dan operasi didalam suatu kota secara terus menerus.


Gambar 4. Model Pola Aliran: Koordinasi Dari
Pusat + Inmelementasi Tingkat Lokal + Partisipasi

Rancangan manajemen resiko bencana adalah menyiapkan (1) rancangan kerangka kerja institusi dan legal untuk menyampaikan sistem Manajemen Resiko Bencana (2) penggabungan program pelatihan Manajamen Resiko Bencana ke dalam proses internal pemerintah dan aktivitas bisnis secara terus menerus di dalam wilayah dengan memperkenalkan Rencana Manajemen Risiko Bencana sebagai praktek perencanaan yang kritis yang diambil oleh wilayah tersebut sebagai aturan dasar.
Rencana Mitigasi Bencana Gempabumi dapat meningkatkan cara pandang yang luas dan terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencana yang meliputi beberapa elemen sebagai berikut:
1.  Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut.
2.  Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan.
3.  Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi antara berbagai organisasi dan insitusi yang berbeda.
4.  Mekanisme koordinasi institusi yang kuat
5.  Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar untuk konstruksi bangunan yang aman
6.  Perencanaan tataguna lahan dan permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko.
7.  Penggunaan peralatan komunikasi untuk pengurangan resiko akibat bencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan, pelatuhan dan penelitian.
8.  Manajemen kesiapsiagaan dan kedaruratan berdasarkan pada pemahaman resiko.
9.  Kerjasama dan koordinasi antar kota dalam satu program mega city.



BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus gempabumi Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006 dapat digunakan sebagai studi kasus untuk melakukan studi mitigasi bencana akibat gempabumi. Peristiwa tersebut mengakibatkan beberapa sarana pendidikan, fasilitas sosial, perkampungan dan infrastruktur lain (jalan, masjid, jembatan, jaringan listrik dan air ) diperkirakan rusak oleh gempabumi. Daerah yang mengalami dampak yang paling parah adalah kabupaten Bantul yang terletak disebelah selatan dari Kotamadya Yogyakarta dan sepanjang jalur patahan hingga ke kota Klaten, Jawa Tengah. Dataran ini merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, dimana orang-orangnya tinggal pada desa-desa yang dibatasi oleh persawahan.
Gambar 6. Epicenter Gempabumi Yogyakarta
27 Mei 2006

Hal yang menarik dari kejadian gempabumi, bahwa hiposenter gempabumi berdasarkan hasil analisis after shock data[4] terletak pada sebelah barat dari Patahan Opak yakni pada koordinat 8.24o LS dan 110.43o BT (koordinat USGS) dan pusat kerusakan diperkirakan tersebar sepanjang Patahan Opak. Hal ini berarti bahwa gempabumi merambat dari titik hiposenterna melalui zona lunak yang
merupakan bagian dari Formasi Endapan Merapi Muda dengan komposisi sebagian besar tersusun oleh alluvial, tuff, breksi agglomerate dan aliran lava.

Gambar 7. DEM (Digital Elevation Model) Yogya

Gambar 8. Intensitas Gempabumi Berdasarkan Data
Rekaman USGS Pada 27 Mei 2006
Masalah terbesar yang dapat diambil sebagai pelajaran dari persitiwa Gempa Yogya adalah bahwa Wilayah DIY-Jateng termasuk salah satu seismic gap, sehingga jarang terjadi gempa besar; masyarakat tidak banyak memiliki pengetahuan tentang gempa; masyarakat belum menerapkan sistem
bangunan tahan gempa; diperlukan pendidikan kebencanaan termasuk dalam penanggulangannya. Beberapa data yang mencerminkan pengaruh yang besar dari gempabumi terhadap masyarakat dan fasilitas publik lainya diantaranya adalah[5] mencakup jumlah korban meninggal atau luka, jumlah
rumah rusak dan juga keterlibatan instansi pemerintah maupun swasta baik dalam negeri
maupun luar negeri, sangat membantu untuk menentukan tindakan mitigasi dan preventif kedepan.

Tabel 1. Data Korban Meninggal, Luka Berat –
Ringan Di Propinsi DIY,
dan Sebagian Jawa Tengah

Jumlah korban di DIY dan Jateng adalah 5.743 orang meninggal dan 38.423 orang lukaluka (data 12 Juni 2005, jam 18.00 WIB). Korban luka-luka dirawat di beberapa rumah sakit yang ada di DIY  dan Jateng. Akibat gempa tersebut, 126.932 keluarga kehilangan rumah, 183.399 keluarga rumahnya rusak berat, dan 259.816 keluarga rumahnya rusak ringan (data tanggal 12 Juni 2005, jam 18.00, MediaCenter). Berdasarkan data tersebut, jumlah pengungsi di DIY dan Jateng diperkirakan
mencapai 330.331 keluarga. Beberapa institusi yang terlibat dalam penanganan korban bencana yang tinggal di sekitar bantul dan daerah sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Jumlah rumah rusak atau runtuh pada perkampungan di Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta sebagai akibat dari gempabumi tektonik yang dapat diperoleh dari Pusat Data Gempabumi Yogyakarta pertangal 12 Juni 2006 adalah 96.360 runtuh, 117.182 rusak berat, dan 156.568 rusak ringan (Gambar 9). Kerusakan terbesar terdapat di kabupaten Bantul, yang diasumsikan mencapai 45 % dari jumlah total kerusakan rumah.
Gambar 9. Peta Distribusi Kerusakan Rumah
di Propinsi DIY dan Jawa Tengah

Table 3. Rekapitulasi Kerusakan Bangunan Rumah
(Rumah Penduduk) di Propinsi DIY
dan Jawa Tengah


BAB V
KESIMPULAN


1.  Pendidikan dan pelatihan kebencanaan perlu diimplementasikan dan secara periodik dilakukan penyegaran.
2.  Perlu koordinasi yang lebih akurat diantara masing-masing stake holder dalam penanganan korban bencana baik dalamsatu wilayah maupun antar wilayah .
3.  Mitigasi gempabumi mencakup konsep Model Utama dan Rencana Awal Manajemen Mititgasi Bencana yang harus diimplementasikan untuk mengurangi resiko bencana gempa bumi.
4.  Sistem pemantau dini hendaknya diimplementasikan sebagai bagian utama dari sistem tanggap darurat terhadap masyarakat yang tinggal pada lokasi bencana yang didukung oleh SDM yang terampil dalam membantu mengevakuasi korban serta penentuan rute evakuasi yang aman.
5.  Pemahaman akan sumber bahaya dan potensinya kepada masyarakat hendaknya diintensifkan dengan diselenggarakannya diklat, penyebaran brosur, pamflet, sehingga dapat meningkatkan kesadaran publik akan bahaya gempabumi.
6.  Hendaknya perlu dilakukan penataan ulang terhadap penggunaan lahan di daerah bencana secara kontinyu dan hendaknya penggunaan citra satelit atau photo udara dapat diimplementasikan untuk mengestimasi aktivitas patahan didaerah becana.




DAFTAR PUSTAKA

Hainafi, Akhmad, Muktaf. Manajemen Resiko Bencana Gempa Bumi (Studi Kasus Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006). Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Keselamatan. Jakarta. 2008.

1 comment:

  1. keren banget nih artikel nya.. bisa sangat membantu nih..nice gan..

    ReplyDelete

Contact Form

Name

Email *

Message *